Ciputat Timur - Kegiatan Bincang Buku Bung Karno "Menerjemahkan" Al Quran, dengan Tema: "Bung Karno dimata Generasi Millenia" yang diselenggarakan oleh Komunitas Warung Sejarah RI bekerjasama dengan Penerbit Mizan dan FISIP UIN Jakarta di Ciputat Timur, Selasa (15/8-2017). Sebagai pembicara dalam kegiatan tersebut, Penulis Buku/Wakil Bupati Trenggalek, Jawa Timur Moch. Nur Arifin dan Politisi Muda Partai Solidaritas Indonesia/PSI, Tsamara Amany. Dalam penyampaiannya, Moch. Nur Arifin menjelaskan secara khusus buku ini memotret pemikiran Bung Karno tentang kebangsaan dan keislaman dalam bingkai ayat-ayat Al Quran. Ini kekhasan yang jarang kita temukan dalam buku-buku tentang pemikiran Bung Karno yang lainnya. Menurutnya, buku ini menyuguhkan tiga bagian dari diri Bung Karno. Yakni, karakter religiusnya, pemikiran keislamannya, dan aksi “jalan”Islamnya. Soekarno dimata masyarakat dipuja layak dewa, dikutuk layak batu. Terkadang omongan Soekarno dianggap bohong/ omong kosong oleh banyak orang. Terkadang apa yang kita yakini sebagai agama kalau tidak diamalkan sama seperti omong kosong. Ada banyak peristiwa maupun tindakan Bung Karno yang menunjukkan bahwa ia sosok yang sangat menekankan aspek religiusitas. Dalam diri Bung Karno, antara nasionalisme dan religiusitas menyatu tanpa ada sekat. Ia sosok yang melampui (beyond) dikotomi keduanya. "Bung Karno figur yang nasionalis sekaligus religius. Di bab awal buku ini, pembaca dapat melihat dengan jelas potret religiusitas Bung Karno," katanya. Trisakti Bung Karno ada didalam Al Quran dan menganggap Islam adalah agama pergerakan. Oleh karena itu spirit Iqro menjadi landasan bagi Soekarno dalam menyelami nilai-nilai substansi Iqro untuk kemudian di aplikasikan dalam setiap pergerakannya. Dia menjelaskan, selama ini, potret religusitas Bung Karno menjadi sisi yang tidak sering diperhatikan dalam bingkai sejarah Indonesia. Bung Karno lebih dikesankan sangat nasionalis ketimbang sangat Islamis. Padahal, dari berbagai adegan sejarah hidupnya, jelas terlihat betapa Islamisnya Bung Karno. Hal itu disuguhkan secara detail pandangan-pandangan Bung Karno tentang keislaman dan keindonesia hasil pembacaannya terhadap ayat-ayat Al Quran. Diantaranya tafsir bung Karno atas surat Al Hujurat. Bung Karno sangat menekankan soal ijtihad. Menurutnya, ijtihad adalah apinya Islam. Bara Islam bisa terus terjaga selama spirit energi ijtihad tetap dijaga. Matinya ijtihad berarti matinya progresifitas dan dinamisitas Islam. Bagi Bung Karno, Islam bisa mengejar kemajuan saintifik dan teknologi jika tafsir atas ayat-ayat Al Quran dihidupkan dengan spirit ijtihad. Al Quran mencakup semua disiplin ilmu. "Sangat disayangkan jika harta karun keilmuan di dalamnya tak bisa ditemukan oleh para penafsirnya. Bagi Bung Karno, peta jalan untuk sampai kesana dengan menggunakan spirit ijtihad," jelasnya. Buku ini menyuntikkan kembali kesadaran tentang betapa berharganya nilai-nilai kebangsaan dan keislaman kita. Bahwa semua itu sudah tuntas dirumuskan oleh para founding fathers kita. Tak ada lagi dikotomi antara Indonesia dan Islam. Keduanya lebur, sinergis, sekaligus beyond, seperti yang bisa kita lihat pada figur Bung Karno. Piagam Jakarta dengan Piagam Madinah memiliki kesamaan yaitu memberikan kebebasan dalam beragama, sehingga asas Pancasila tidak perlu diperdebatkan lagi oleh masyarakat maupun tokoh politik. Penerapan syariah tidak perlu tertulis/berdasarkan teks, yang penting bagaimana kita mengamalkan ajaran agama sesuai ajaran dan keyakinan masing-masing. Sedangkan, Politisi Muda Partai Solidaritas Indonesia/PSI Tsamara Amany mengatajan Bung Karno memiliki pemikiran Islam yang sangat baik. Nasionalisme dan Islam merupakan masalah kebangsaan dan satu kesatuan yang tidak bisa terpisahkan. Bung Karno merupakan sosok yang konsisten dengan paham/ajaran Islam, menganggap Islam sebagai penggerak kemajuan, Islam sangat memperhatikan kesetaraan gendre, serta menolak ideologi pengkafiran (takfirisme) terhadap orang lain. Pancasila merupakan ideologi yang religius, lima sila dalam Pancasila sangat terbuka dan religius. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang bertuhan, sehingga Pancasila sangat cocok untuk bangsa Indonesia. Soekarno mengagumi tokoh Wahabi, yang dalam pergerakannya sangat keras, akan tetapi bung Karno hanya mengambil sisi positif dari paham/ajaran Wahabisme tersebut, untuk kemudian dijadikan gagasan baru dalam mempelajari konsep keislaman. Di Indonesia ada kelompok yang intoleran, dengan dalih kebebasan mengeksekusi orang dengan kebebasannya sendiri dan kelompok sangat aktif mendoktrin dengan ideologi Khilafah. Untuk mengatasi kelompok intoleran ini, pemerintah harus tegas dan masyarakat harus aktif menolak kelompok ini. (*)